bunda
Sesuai Sunnah Rasulullah s.a.w, anak-anak kita harus mendapatkan keterampilan dan kearifan tinggi dalam:
  • Menjadi calon suami, ayah atau istri, ibu yang hidup matinya untuk Islam.
  • Berkomunikasi: baik teknik, teknologi maupun penguasaan bahasa-bahasa
  • Team work (kerja berjamaah)
  • Berdagang atau berbisnis; dari yang lokal sampai internasional
  • Administrasi
  • Perang
  • Kepemimpinan (dari tingkat terendah, rumah tangga, sampai seluas mungkin

Jika tiga struktur ilmu tadi kita bantu kesempurnaan gizinya, ditambah penguasaan keterampilan hidup yang dituntunkan Rasulullah dan para sahabatnya, insya Allah anak-anak kita siap menjadi apa saja. Namun yang pasti, dia sudah memenuhi standard minimum untuk menjadi seorang yang 'Alim (berilmu), Da'i (penyeru Kebenaran dan pencegah kemungkaran), dan Mujahid (pembela kaum yang lemah dan pelawan kezhaliman).

Barulah kita bisa berharap, doa anak-anak kita itu berpotensi menyelamatkan kita di saat kita menghadapi saat-saat sulit di alam barzakh, ketika jenazah kita sudah ditanam di bawah tanah.
bunda
Suatu hari keponakan saya Adinda bercerita tentang teman sekelasnua di SMP. Namanya si Boy. Temannya ini terkenal suka mengajak kawan-kawannya menonton film mesum. "Sekelas sudah pada tahu, si Boy itu sekeluarga doyan nonton begituan" kata Adinda.
Awal mulanya, waktu masih duduk di bangku SD suatu malam si Boy terbangun dari tidurnya dan ingin pipis. Saat keluar kamar menuju kamar mandi, ia memergoki ayahnya sedang menonton video mesum di ruang tengah. Alih-alih segera mematikan tayangan setan itu, sang Ayah "dengan penuh kearifan" malah memanggil si Boy mendekat, dan mengajaknya nonton bersama. Sejak itu, si Boy kecanduan segala hal yang porno.
Adinda, juga bercerita tentang Putri, teman sekelasnya yang kecanduan rokok, diajari pertama kali oleh ibunya.

Cara 'Merusak' Anak
Banyak orang mengira, hanya orangtua yang rusak yang akan menghasilkan anak-anak yang rusak. Padahal di masa kita hidup sekarang ini, untuk menghasilkan anak yang rusak orangtuanya tidak perlu rusak. Hanya perlu diam dan tidak peduli pada keselamatn 'aqidah, fikrah (pemikiran), dan akhlaq' anaknya saja sudah bisa rusak anak kita. Atau hanya perlu merasa sudah cukup ilmu dan tidak perlu belajar lagi... "Yah, mengalir sajalah 'gitu eperti air', kata sebagiamn orangtua. Ada yang merasa modern dan maju karena "membebaskan" anak dalam hal 'aqidah dan pemikiran. Sikap ini saja sidah cukup untuk merusak fitrah anak yang diamanahkan Allah kepada kita.
Bahkan yang  lebih mencemaskan kita, semakin hari semakin nyata dalam berita-berita yang kita terima, bahwa sumber kerusakan itu malah terkadang justru datang dari sekolah. Ada guru yang mengajak siswinya nonton video porno lalu memperkosanya. Ada guru yang mengajak muridnya pesta mesum.

Sebenarnya siapa yang pertama kali merusak anak-anak kita?

Bukan televisi, bukan internet, bukan pergaulan, bukan juga tontonan porno. Yang pertama kali merusak anak-anak kita adalah cara kita, para orangtua, memandang pendidikan dan cita-cita kita atas pendidikan anak-anak kita.

Keshalihan dan Kekayaan?
Orang-orang tua yang pernah saya ajak bicara, ketika ditanya mengenai apa yang diinginkan dari anak-anaknya, hampir semua menjawab, "Semoga anak kami menjadi anak yang shalih...". Namun pada saat yang sama, ketika membicarakan program pendidikan anak-anaknya, kebanyakan mereka hanya berbicara tentang profesi apa kira-kira yang kelak akan digeluti anaknya, dan yang terpenting sejauhmana profesi itu prospektif untuk menghasilkan uang dan kesejahteraan finansial.

Jadi pilot, ahli IT atau pengacara, ya? Jadi dokter, psikolog, atau arsitek, ya? Jadi bankir atau pengusaha, ya? Jadi desainer atau jadi akuntan, ya? Seakan-akan, menjadi shalih di mata Allah bukan saja tidak mentereng, tapi sama sekali tidak menjadikan kesejahteraan hidup.

Ada yang terputus antara pengertian kita tentang "shalih" dan "penghasilan keuangan". Seakan-akan, kalau "cuma" jadi anak shalih, masa depan keuangannya "agak mengkhawatirkan". Seakan-akan ada kalimat yang tersirat begini, "Yaaaa....menghafal Al-Qur'an dan belajar agama itu harus....cumaaaaaannnnn, ya kan nggak cukup".

Kita ingin anak kita shalih dimata Allah, tapi kita lebih ngebet untuk membuat mereka buru-buru menguasai bahasa Inggris sebelum bahasa Al-Qur'an. Kita lebih serius menambahkan les pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, namun alakadar saja memantau hafalan dan pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw. Kita jadi seperti bingung terhadap faham kita sendiri.

Apalagi kalau kemudian reasoning itu dibumbui dengan ide yang kelihatannya hebat. Misalnya, "Lho, anak-anak shalih kita harus menguasai semua profesi sebaik mungkin. Kalau nggak nanti diambil oleh orang kafir semua,orang Islam terpinggirkan terus".

Perlu Dikoreksi
Cara berpikir seperti inilah yang dikoreksi oleh Prof.Syeid M. Naquib Al-Attas dalam makalahnya di Muktamar Pendidikan Islam pertama di Makkah tahun 1977. Jangan salah Prof. Attas bukan kiai, beliau seorang bekas lulusan akademi militer Sandhurst, Inggris. Seorang arsitek, seorang linguist, seorang seniman. Tapi juga lebih dari itu, dia seorang pemikir Islam yang sangat yakin, bahwa jika pendidikan diharapkan memperbaiki keadaan umat Islam dari akarnya,maka semua sarjana di bidang apapun harus pertama kali belajar 'ulumuddin, ilmu-ilmu agama Islam yang fardhu, sebelum belajar yang lain.

Al-Qur'an dan Sunnah
Terletak di maqam pertama adalah Wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Bagi Prof.Attas, pondasi pendidikan yang harus pertama kali diterima anak adalah Qur'an dan Sunnah. Dalam proses ini, kehebatan fitrah seorang anak, dipertemukan dan ditancapkan secara permanen dengan sumber kebenaran untuk semua ilmu, keterampilan, dan profesi.

Targetnya adalah sejak dini, kemudian remaja, sampai dewasa anak-anak kita akan menjadikan Qur'an dan Sunnah sebagai satu-satunya alat dalam memandang dan menilai segala hal yang dihadapinya sepanjang sisa hidupnya.

Syarat terpenting dari proses ini adalah, ayah dan ibunya harus jadi orang yang paling rajin membaca, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur'an. Keduanya harus seia sekata menjadikan semua kegiatan hidup di rumah berhubungan dengan Qur'an dengan cara yang menyenangkan. Hanya dengan cara ini, anak-anak akan tumbuh kembang maksimal dengan Al-Qur'an.


Ilmu Fardhu 'ain
Ditingkat maqam ilmu yang kedua terletak ilmu-ilmu fardu 'ain, yaitu semua ilmu yang wajib dimiliki yang akan menjadikan anak-anak terampil dan kuat dalam memahami dan mengamalkan Qur'an dan Sunnah.

Disinilah diperlukan sekolah yang paten dan mantap. Karena pondasi ilmu fardhu 'ain ini akan mengawal Qur'an dan Sunnah yang sudah kita tanamkan. Di zaman Rasulullah, kata yang pertama diajarkan kepada anak-anak di Madinah untuk latihan menulis adalah nama-nama Allah, Al-Asmaul Husna yang 99 itu. Mereka juga diajarkan memahami artinya. Smapai Allah menjadi "tokoh" yang dominan dan memenuhi seluruh alam jiwa dan pikiran anak-anak. Semua urusan mereka dimulai dengan Allah, dan dikembalikan kepada Allah. Anak-anak seperti ini tidak akan pernah takut selain kepada Allah.

Sedangkan generasi saya, kalimat pertama yang diajarkan untuk membaca dan menulis adalah "Ini Budi.... Ini Ibu Budi.... Ini Bapak Budi....". Terus terang sampai hari ini saya tidak tahu siapa sebenarnya si Budi yang dimaksudkan, dan apa pentingnya mengenal si Budi dengan keselamatan saya di dunia dan di akhirat.

Pondasi ilmu fardhu 'ain yang kuat akan mendorong anak-anak memahami seluruh ilmu lainnya dari perspektif Al-Qur'an dan Sunnah.


Fardhu Kifayah
Nah, barulah di tingkat maqam ilmu yang ketiga, ada ilmu-ilmu fardhu kifayah, jenis ilmu-ilmu yang penting untuk mmelihara kemaslahatan masyarakat, tetapi tidak setiap orang harus menguasainya. Misalnya, kedokteran, ekonomi, politik, administrasi publik, psikologi, kedokteran hewan, IT, dan lain sebagainya.

Keadaan kita sekarang terbalik. Ilmu-ilmu di maqam ketiga kita jadikan pusat perhatian utama dalam pendidikan anak-anak kita. Bahkan kita tidak merasa terganggu dengan kehadiran beberapa universitas Islam yang meletakkan ilmu-ilmu fardhu kifayah sejajar dengan Wahyu Allah dan Sunnah. Ini terlihat dari penyetaraan fakultas teknik, misalnya, dengan fakultas ushuluddin.


Life Skills
Selain struktur ilmu yang tiga itu, tentu saja anak-anak kita perlu dibekali dengan keterampilan hidup sebagai ikhtiar untuk ia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin kepada orang disekitarnya. Bukan untuk sekedar "mencari nafkah".

Betapa tekornya penciptaan anak-anak kita yang disiapkan dengan sempurna oleh Allah Ta'ala untuk menjadi khalifah di muka bumi, dengan ruh yang kuat, akal yang hebat, dan jasad yang terbina, yang tugasnya mengerahkan seluruh sumber daya alam dan manusia demi tegaknya Kalimat Allah dan menyebarkan Rahmat ke seluruh alam, eeeh....kok malah kita siapkan jadi orang yang setiap hari sekadar "mencari nafkah".




oleh: Qaula Tsaqilla